Senin, 11 Maret 2013

Apa Kegunaan PAK Dalam Masyarakat Majemuk

Apa Kegunaan PAK Dalam Masyarakat Majemuk Oleh: Gerdanus Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga, ataupun power. Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri. Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai simbol-simbol yang digunakan dia akan diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat dipergunakan maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional Dalam konteks multinasional, Undang-undang Otonomi Daerah memberi keleluasaan setiap daerah untuk melakukan self-governing. Pemilihan kepala daerah langsung menjamin adanya ruang lebih besar bagi tokoh-tokoh masyarakat dan politik lokal guna menentukan bagaimana seharusnya masyarakat mereka kelola. Seperti Kymlicka nyatakan sebelumnya, genealogi fitur multinasional biasanya mengharapkan kemandirian politik relatif vis a vis pemerintah pusat. Untuk itu, Aceh diperkenankan menggunakan Qanun dan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta terus menikmati status sebagai daerah istimewa, dan wilayah-wilayah lain diperkenankan melembagakan pengajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikannya. Atas dasar fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah mengarah (atau diarahkan) kepada masyarakat multikultur. Patologi yang biasa muncul dalam masyarakat multinasional dan polietnis adalah etnophobia atau kecurigaan yang berlebihan terhadap suatu etnis. Misalnya saja di Indonesia berkembang etnophobia atas etnis Jawa yang mengendap pada suku-suku luar pulau Jawa. Ini merupakan peninggalan merusak dari konsep masyarakat majemuk zaman kolonial di mana suatu etnis disokong oleh penjajah Belanda guna mendominasi etnis lain. Pemerintah kolonial pun selalu menggunakan Jawa sebagai model pemerintahan bagi daerah luar Jawa yang mereka kuasai. Memang, secara kuantitas, Jawa merupakan etnis yang terbesar Indonesia. Namun, dominasi kuantitatifnya hanya di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa provinsi Sumatera. Selain itu, bahasa persatuan (bahasa Indonesia) bukanlah bahasa Jawa melainkan Melayu yang telah menyerap unsur-unsur Sanskerta, Arab, dan sejumlah bahasa asing lainnya (Inggris, Belanda, Portugis, atau Cina). Masalah yang juga biasa melatarbelakangi konflik etnis dan sektarian Indonesia adalah ekonomi. Konflik Poso jika hanya dianalisis secara dangkal adalah kisah perang agama. Padahal, pada esensinya bukan konflik agama melainkan konflik ketimpangan struktural-ekonomi antara masyarakat asli yang mayoritas Kristen dengan kaum pendatang yang mayoritas Islam. Kejadian serupa juga terjadi di Ambon, yang lebih diakibatkan kegamangan posisi status quo elit dan masyarakat Ambon Kristen atas peralihan politik nasional di level pusat, berupa peralihan kuda-kuda kekuasaan Soeharto dari ABRI menuju Islam modernis. Sebagai ideologi, multikulturalisme tidaklah asing dan masih memiliki optimismenya di Indonesia. Ini mengandaikan pemerintah pusat lebih cerdas dalam memetakan karakteristik suku bangsa yang bergabung dengan Indonesia serta political will untuk melakukan budaya dialog antarbudaya serta serius melakukan pemerataan pembangunan ekonomi, yang lebih mengakomodasi komposit polietnis yang kepentingannya saling berbeda dan kadang saling bersaing. Di sinilah sesungguhnya peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik dan penetrator ayat-ayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight capitalism. Peran pemerintah harus mengenyahkan tata politik kolonial yang sekadar juragan tanpa kehendak baik memperhatikan karakteristik budaya dan masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial menyukai konsep masyarakat majemuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar