Kamis, 01 Desember 2011

ORIGINAL GERDANUS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Frustasi adalah keadaan batin seseorang, ketidak seimbangan dalam jiwa, suatu perasaan tidak puas karena hasrat / dorongan yang tidak dapat terpenuhi. Dalam kehidupan seseorang, ketidak puasan juga sering dialami oleh setiap individu, sehingga mengakibatkan frustasi. Ada orang yang mengalami frustasi karena ia sulit untuk menerima keadaan dirinya, apalagi sering dikatakan “bodoh”, “jelek”. Itulah yang menjadikan dirinya merasa yang paling bodoh atau paling jelek diantara orang lain. Orang yang seperti ini akan selalu memandang dirinya sesuai dengan orang lain yang mengatakannya kepadanya. Sehingga dengan demikian, sulit bagi orang tersebut untuk maju, karena ia mengalami keadaan dimana ia “pasrah” dengan keadaan; “ya...seperti itulah saya, saya bodoh dan jelek; saya nggak mungkin pintar.” Saat seseorang berkata seperti itu, secara tak langsung ia meyakini bahwa seperti itulah dirinya, dan sulit bagi orang tersebut untuk mengembangkan diri, ia akan berjalan ditempat. .
Kasus ini bukanlah sesuatu hal yangmudah untuk ditangani, masalah seperti ini sangatlah berat, karena berhubungan dengan masa depan seseorang dan bagaimana ia dapat berhubungan dengan orang lain. Berbeda dengan cara pandang pertama, ada juga orang yang memandang dirinya dengan positif, setiap pekerjaan dikerjakan dengan baik, ia tahu bahwa ia sanggup melakukannya. Orang yang seperti ini biasanya
orang yang berada dilingkungan yang membentuk dirinya dengan baik, hidup dipandang sebagai perjuangan dan tidak boleh menyerah sekalipun mengalami kegagalan. Artinya, pandangan seseorang terhadap dirinya dipengaruhi oleh lingungan dimana ia berada, apa yang dihasilkan dalam dirinya tergantung dari lingkungan itu. Apabila keadaan dimana ia berada, terutama keluarga memberikan sesuatu yang baik, maka orang tersebut dapat memandang dirinya dengan baik pula, bagitu sebaliknya. Inilah yang sering disebut sebagai konsep diri.
Sidjabat mengatakan bahwa “konsep diri adalah gambaran yang dimiliki dan dikembangkan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini tidak terbentuk dengan sendirinya, 85 % yang membentuk konsep diri seseorang adalah keluarga dan 15 % konsep diri dibentuk oleh lingkungan diluar dari keluarga.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri seseorang terbentuk dari perpaduan pendidikan keluarga dan pengaruh lingkungan. Jika seseorang yang hidup dalam lingkungan dan pola asuh yang terbina dan terdidik, baik secara mental maupun spiritual, maka indifidu tersebut akan memiliki konsep dan pemahaman yang baik pula.
Mengapa orang bisa bertindak bodoh hanya dikarenakan masalah konsep diri ? Apa yang terjadi itu adalah karena cara pandang seseorang terhadap dirinya yang negatif. Konsep diri yang negatif menyebabkan seseorang tidak mengakui keunikannya lagi. Orang bisa bersikap rendah diri, pesimis tidak mengasihi diri sendiri dan lain sebagainya. Sikap yang berlarut – larut seperti ini berakibat buruk bagi seseorang dan menghalangi hubungannya dengan Tuhan. Smith mengatakan bahwa “tidak ada hal lain yang dapat lebih mempengaruhi perasaan dari pada pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri”. Artinya adalah seseorang bisa saja menghiraukan apa pandangan orang lain tentang dirinya, tetapi ketika diri sendiri yang menilai, terdapat banyak permasalahan yang terjadi yang mempengaruhi sikap, perasaan, dan tindakan seseorang.
Seorang ahli psikologi, Gunarsa dalam bukunya “Psikologi perkembangan anak dan dewasa” mengatakan bahwa “konsep diri itu sebenarnya terbentuk berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap – sikap orang lain terhadap dirinya, pada seorang anak, ia mulai berpikir dan merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan orang lain dalam lingkungannya misalnya orangtuanya, gurunya ataupun teman – temannya.” Pandangan ini berbeda dengan pandangan Sidjabat. Dalam pandangan ini lebih menekankan kepada sikap dan perilaku orang lain yang dapat mengakibatkan terbentuknya konsep diri setiap individu. Namun demikian, hal ini tetap bergantung kepada individu tertentu. Jika, seseorang percaya apa yang dikatakan oleh orang lain terhadap dirinya, maka orang tersebut akan menjadi dirinya sendiri seperti apa yang ia pandang.
Tentunya setiap orang pasti juga mengalami masalah konsep diri. Didalam penulisan karya ilmiah ini, penulis melihat dari konsep diri peserta didik yang ada di SMA PSKD Jawa Barat. Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan terhadap salah seorang siswa kelas II A, ia menjelaskan bahwa “pada umumnya, memang sekolah ini boleh dikatakan terkenal, karena melihat prestasi setiap akhir semester cukup memuaskan; ditambah dengan lulusan – lulusan yang dapat masuk, diterima diperguruan tinggi yang bagus. Tetapi dalam bidang tertentu, seperti mungkin olahraga, kesenian, musik dan lain sebagainya, itu tidak begitu memuaskan. Dikarenakan prioritas utama disekolah ini adalah “masalah prestasi”, sehingga dengan demikian sulit untuk mengembangkan apa yang kita mau; ada juga sih dari guru pembinanya...’katanya, dengan tegas’.
Melihat kasus diatas, maka penulis menduga bahwa ada suatau bentuk keperdulian yang harus dilakukan oleh guru, lembaga keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan pengembangan diri peserta didik dalam berbagai aspek . Keperdulian yang dimaksud adalah dengan membina dan mengembangkan serta meningkatkan kembali pemahaman tentang konsep diri positif dalam kegiatan pembelajaran.
Tentu dalam pengembagan diri yang dimaksud diatas pada hakekatnya sangatlah dibutuhkan latihan serta pendalaman yang lebih serius. Pengembangan yang dimaksud adalah mengarah kepada peningkatan nilai diri yakni segala potensi serta ketrampilan yang ada untuk dilatih dan dikembangkan secara intensif. Itulah sebabnya sangat dibutuhkan konsep diri yang positif dalam mengembangkan dan meningkatkan potensi tersebut. Dalam masalah tersebut, maka penulis menuangkan dalam satu judul tulisan ilmiah yaitu “HUBUNGAN KONSEP DIRI POSITIF DENGAN PENGEMBANGAN DIRI SISWA KELAS II DI SMU PSKD PERKUMPULAN SEKOLAH KRISTEN JAKARTA ), JAWA BARAT.





B. Identifikasi Masalah

Dengan mempelajari pokok permasalahan diatas, penulis memberikan fokus penelitian terhadap pelayanan pendidikan di SMA Kelas II PSKD Jakarta Selatan. Untuk memahami masalah tersebut diatas, maka penulis menguraikan beberapa pokok permasalahan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan antara konsep diri positif dengan pengembangan diri siswa ?
2. Adakah pengaruh konsep diri positif dengan pengembangan diri siswa ?
3. Bagaimanakah cara memupuk konsep diri positif dalam pengembangan diri siswa ?
4. Sejauh manakah hubungan konsep diri positif mempengaruhi pengembangan diri siswa ?
5. Apa yang menyebabkan konsep diri positif sangat diperlukan dalam pengembangan diri siswa zaman sekarang ?

C. Pembatasan Masalah
Dari sekian banyak masalah yang menurut penulis mampu mempengaruhi konsep siswa, tidak mungkin dibahas secara keseluruhan dalam skripsi ini. Masalah yang diuraikan diatas sangat kompleks dan mengingat keterbatasan waktu serta biaya yang dibutuhkan dalam penulisan karya ilmiah ini, maka penulis membatasi diri pada pembahasan tentang hubungan konsep diri positif dengan pengembangan diri siswa.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari penulisan, maka dibuat dalam rumusan masalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara konsep diri positif dengan pengembangan diri siswa Kelas II di SMU PSKD ( Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta ) Jawa Barat ?

E. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
a. Sebagai bahan kajian analitik untuk menentukan proporsi permsalahan, sekaligus sebagai dasar pengambilan keputusan didalam upaya mengajukan kontribusi pemikiran dalam menciptakan dan menerapkan konsep diri yang positif terhadap suatu masalah ( problem ), pengembangan diri serta peningkatan ketrampilan sebagai citra diri yang trampil dan bermanfaat bagi kalangan lingkungan keluarga, masyarakat, Gereja dan secara khusus dalam dunia pendidikan.
b. Manfaatnya bgi penulis adalah untuk memnuhi psrsyaratan akademis dalam memperoleh gelar sarjana konsentrasi Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi IKSM Santosa Asih Jakarta.
2. Bagi STT IKSM Santosa Asih
a. Untuk membantu menciptakan pola pengajaran yang positif dalam membangun konsep diri yang positif terhadap mahasiswa.
b. Untuk membina, membangun dan memperbaiki pola pikir yang rapuh, dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang bermutu.
3. Bagi Para Pembaca
Dengan karya ilmiah ini, setiap pembaca diharapkan dapat :
a. Memiliki konsep diri yang positif yang dapat membantu menciptakan, membangun dan memperbaiki letak – letak kelemahan dalam pengembangan diri dalam segala aspek.
b. Mengerti apa manfaat konsep diri yang positif bagi dirinya dan bagi orang lain.
c. Menerapkan konsep diri yang positif dalam setiap keadaan, baik dalam menghadapi persoalan maupun dalam mengembangkan potensi yang dalam direinya.
4. Bagi Sekolah
Menurut penulis penerapan konsep diri positif kepada siswa terhadap setiap sekolah, secara khusus sebagai objek penelitian peneliti, sangatlah penting. Sebagai manfaat bagi sekolah adalah bahwa dengan penulisan karya ilmiah ini, maka siswa dan guru sebagai pengajar, dapat :
a. Bekerjasama dalam menemukan potensi masing – masing siswa yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan secara bersama.
b. Belajar untuk tidak cepat putus asa dalam mengerjakan tugas yang diberikan ( sebagai siswa ), dan guru sebagai pengajar dalam mendidi, membina siswa.








BAB II
LANDASAN TEORI TEOLOGIS, KERANGKA BERPIKIR
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Landasan Teologis

1. Pandangan Alkitab tentang konsep diri

Alkitab tidak berbicara tentang konsep diri secara jelas, tetapi secara tidak langsung Alkitab birbicara tentang gambar diri yakni pada waktu Allah menciptakan Adam dan Hawa, Allah mengatakan bahwa Ia menciptakan manusia “segambar dan serupa” dengan Allah ( tselem dan demuth ) Kejadian 1 : 26 – 27. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini menyatakan, “untuk kata gambar pada Perjanjian Lama disebut “tselem” sedangkan dalam Perjanjian Baru disebut “eikon” keduanya sama artinya yaitu gambar dan rupa.” Ini berarti bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan keunikan tersendiri dibandingkan dengan ciptaan lainnya, oleh sebab itu, hanya Allah yang mengetahui keberadaan manusia dan Allah juga yang dapat menilai hidup manusia.
Segambar dan serupa dalam arti lain adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang istimewa yang berbeda dengan makhluk cipataan lainnya. Manusia adalah ciptaan Allah sendiri, berbeda dengan makhluik ciptaan lainnya. Dalam Yesaya 43 : 4a berkata “oleh karena engkau berharga dimata-Ku, dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau.” Kalimat diatas merupakan suatu pertanda bahwa manusia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karena itu tidak ada alasan bagi setiap orang untuk mengukur setiap orang, bahkan dirinya sendiri; manusia dihadapan Allah adalah berharga dan tidak ada perbedaan. Amsal 23 : 7a berkata “Sebab seperti orang yang membuat perhitungan pada dirinya sendiri, demikianlah ia. Ayat ini lebih menekankan lagi bahwa konsep diri adalah berasal dari individu itu sendiri. Artinya ketika seseorang menilai dirinya, baik secara sadar maupun tidak sadar, maka demikianlah orang itu. Jadi, konsep diri ini sangat berhubungan emosionallitas setiap individu; yakni cara pandang seseorang memandang diri dalam situasi dan bentuk apa pun. Orang yang memadang dirinya dalam terang Firman Tuhan dan dalam harapan bersama Tuhan, maka ia adalah orang yang berpikir positif. Demikian sebaliknya.

2. Manusia diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah
Karya penciptaan Allah terhadap bumi dan segala isinya sungguh luar biasa, dan lebih lagi manusia diciptakan oleh Allah sangat berbeda dengan ciptaan lainnya. Dari Kejadian 1 : 26-27 dikatakan, “Berfirmanlah Allah : “Baiklah kita menjadikan manusia menrut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa....” Maka Allah menciptakan mencipatakan manusia itu menurut gambar – Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa manusia diciptakan Allah sesuai dengan gambar dan rupa-Nya, bahkan Allah membentuk manusia dari debu dan tanah dan kemudian menghembuskan nafas hidup kedalam manusia ( Kejadian 2 : 7 ). Jadi dibandingkan dengan ciptaan – ciptaan Allah lainnya, manusia adalah ciptaan yang paling istimewa, hanya manusia yang mempunyai roh, jiwa dan pikiran. Smith menyatakan bahwa : Allah memberi manusia masing – masing ciri-ciri tetentu yang menjadikannya manusiawi seperti misalnya tubuh, jiwa, kesanggupan untuk berpikir dan bertindak.” Dan satu lagi keistimewaan manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah manusia diciptakan masing – masing berbeda dengan keunikan masing – masing pula. Tidak ada yang mempunyai kepribadian sama, seseorang yang dilahirkan kembar sekalipun mempunyai kepribadian atau karakter yang berbeda. Mary Setiawan menyatakan :
“Dunia tidak akan mengulangi orang yang bernama Ludwing Van Beethoven didalam pribadi yang lain, karena Beethoven hanya muncul satu kali dalam satu pribadi ditengah – tengah sejarah Jerman. Kita juga tidak mengulangi lagi munculnya Albert Einstein selain Albert Einstein yang asli. Pribadi seperti ini merupakan pribadi yang unik yang bersifat indifidu tidak terulang dan dan tidak dapat dicopy.”

Dari kutipan diatas, perlu diketahui bahwa manuisia dapat berpendapat atau memandang dirinya dengan orang laing berbeda, tetapi Allah memandang manusia sama dihadapan-Nya, yaitu sama – sama diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Keberadaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan yang dimaksud adalah manusia memiliki Roh Kudus yang berasal dari Allah Tritunggal yakni Yesus Kristus sebagai Juru Selamat. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya.

3. Keberadaan Manusia Yang Tercemar Dosa
Dosa telah menjadikan segala sesuatunya berubah menjadi tidak baik, dimana manusia pertama ( Adam dan Hawa ) yang diciptakan Allah itulah yang telah merubah segalanya. Mereka melanggar perintah Allah dengan memakan buah ( yang dinamakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat ) yang dilarang oleh Tuhan sehingga menusia yang tidinya adalah gambar Allah yang sempurna tetapi pada akhirnya menjadi rusak. Itulah sebabnya, Fuxie mengatakan, “walaupun gambaran itu masih ada, tetapi gambarnya sudah rusak. Alkitab mencatat; “setelah Adam hidup nseratus tiga puluh tahun, ia memperanankan seorang anak laki – laki meniurut rupa dan gambar – Nya ( Kejadian 5 : 3 ).” Adam diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Setelah Adam berdosa, Adam mempunyai anak dan pada akhirnya anak tersebut tidak menurut gambar Allah, tetapi menurut gambarnya Adam.” Alkitab sangat jelas mengatakan bahwa dampak dosa itu nyata bagi kehidupan Adam bahkan sampai kepada keturunan – keturunannya telah menggambarkan Adam yaitu sebagai manusia berdosa.

4. Gambar Allah Pada Diri Yesus
Allah mempunyai rencana yang indah bagi kehidupan manusia, Allah menginginkan agar gambar diri-Nya dalam diri manusia yang rusak dapat dipulihkan kembali. Untuk itulah Allah mengirimkan Anak-Nya yang tunggal Yesus Kristus yang adalah gambaran yang sempurna dari Allah. Kristus adalah gambaran yang nyata dari Allah yang tidak kelihatan ( Kolose 1 : 5 ), sedangkan dalam Yohanes 14 : 9 menyatakan , “Barang siapa melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Namun demikian, dosa telah membuat manusia sulit untuk melihat Allah; karena itulah Tuhan Yesus hadir didunia, dengan kematian-Nya dikayu salib dan kebangkitan-Nya, membuat gambaran Allah jelas terlihat dalam hidup orang percaya.
Dari beberapa penjelasan diatas, jelas bahwa Allah memandang manusia sebagai ciptaan yang istimewa sebagai gambar dan rupa-Nya. Ini berarti bahwa setiap manusia harus berpegang pada keberadaan Alkitab untuk memandang dirinya sebagaimana pandangan Allah terhadap dirinya.
Dari penjelasan diatas, Allah memandang manusia sebagai ciptaan yang istimewa sebagai gambar dan rupa-Nya. Setiap manusia harus berpegang pada kebenaran Alkitab untuk memandang dirinya sebagai pandangan Allah terhadap dirinya.

B. Landasan Teoritis
1. Konsep Diri
1.1 Pengertian konsep diri secara umum
Konsep diri merupakan bagian penting dalam perkembangan kepribadian. Seperti dikemukakan oleh Rogers ( dalam Hall & Lindzey 1945 ) bahwa konsep kepribadian yang paling utama adalah diri. Diri ( self ) berisi ide – ide, persepsi – persepsi dan nilai – nilai yang mencakup kesadaran tentang diri sendiri. Ini berarti bahwa setiap orang / individu memiliki nilai – nilai tertentu, ide – ide tertentu yang pada hakekatnya disalurkan dalam sikap, pergaulan hidup sehari – hari. Baik lewat bakat, ketrampilan maupun dalam bidang pendidikan yakni dalam pencapaian prestasi yang baik di sekolah.
Secara umum, Greenwald ( Campbell et al., 1996 ) menjelaskan bahwa konsep diri sebagai
“suatu organisasi dinamis didefinisikan sebagai suatu skema kognitif tentang diri sendiri yang mencakup sifat – sifat, nilai – nilai, peristiwa – peristiwa dan memori semantik tentang diri sendiri serta kontrol terhadap pengolahan informasi diri yang relevan. Secara lebih luas konsep diri dirumuskan sebagai skema kognitif atau pandangan dan penilaian tentang diri sendiri yang mencakup atribut – atribut spesifik yang teridiri atas komponen pengetahuan dan komponen evaluatif. Komponen pengetahuan termasuk sifat – sifat dan karakteristik fisik, sedangkan komponen evaluatif termasuk peran, nilai – nilai, kepercayaan diri, harga diri, dan evaluasi diri global.

Pernyataan tersebut diatas mengandung pengertian, pertama : pengawasan dan penilaian informasi terhadap diri sendiri; kedua : menyangkut keseluruhan sifat dan karakteristik seseorang serta peran, nilai – nilai, kepercayaan diri, harga diri, dan evaluasi secara global. Ini tidak jauh beda dengan pernyataan sebelumnya. Sesuai dengan pernyataan ini, lebih menekankan pada pengertian konsep diri itu sendiri, secara luas.
Konsep diri juga merupakan seperangkat instrument pengendali mental dan karenanya mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Gunawan menyebutkan bahwa seseorang yang mempunyai konsep diri positif akan menjadi invidu yang mampu memandang dirinya secara positif, berani mencoba dan mengambil resiko, selalu optimis, percaya diri, dan antusias menetapkan arah dan tujuan hidup . Ini berarti bahwa setiap individu yang memiliki konsep diri positif yang baik, maka ia adalah tergolong orang berhasil / sukses. Kesuksesan bukan hanya berbicara masalah banyak harta atau kaya, tetapi kesuksesan dan keberhasil itu adalah juga termasuk masalah pencapaian nilai yang baik secara akademik.
Terkait dengan pencapaian nilai akademik, hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Shupe dan Yager dan Yeung dan Marsh dalam O’Mara dkk, menunjukkan bahwa
Konsep diri dan pencapaian akademik siswa adalah dua hal yang saling memperngaruhi. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam berbagai tingkatan mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguran tinggi, seseorang dengan konsep diri yang positif cenderung memiliki pencapapaian akademik yang lebih baik.
Gagasan diatas dapat diartikan bahwa orang yang memiliki konsep diri yang positif dalam belajar, dengan percaya bahwa ia mampu belajar dengan baik tanpa menyerah dalam perkara studi, maka ia adalah orang yang berhasil. Keberhasilan ini adalah dimulai dengan konsep diri yang positif. Orang yang tidak memiliki konsep diri yang positif dalam belajar adalah ditandai dengan keadaan yang selalu pasrah terhadap perkara studi. Sehingga dengan demikian akan mempengaruhi pola pikir individu itu sendiri. Inilah yang disebut dengan konsep diri.
Konsep diri juga sering diartikan sebagai pandangan seseorang tentang dirinya. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang mengetahui siapa dirinya dan seperti apa dirinya. Menurut Elizabeth B. Horlock, konsep diri adalah “gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang tentang diri mereka sendiri. – karakteristik fisik, psikologis, sosiologis, emosional, aspirasi dan prestasi.” Artinya bahwa seseorang menjelaskan tentang dirinya dan keyakinannya tentang siapa dirinya, yang ia peroleh dari lingkungan hidupnya. Samuel Sidjabat juga mengatakan :
“Konsep diri adalah gambaran ( the image ) yang diperoleh, dimiliki dan dikembangkan oleh seseorang yang mengenai dirinya. Artinya dengan konsep diri yang dimilikinyalah pribadi yang bersangkutan akan memberi penjelasan tentang dirinya, apakah berhubungan soal perasaan, pikiran atau angan – angan, sikap dan tingkah laku. Karena konsep diri itu tidak lepas dari aspek emosi, maka dapat pula dikatakan bahwa konsep diri adalah perasaan yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri – keadaan fisik, keadaan keluarga, prestasi dan prestige.

Dengan demikian konsep diri ini berbicara mengenai perasaan yang timbul dari dalam diri seseorang tentang dirinya yang dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya seperti fisiknya sendiri, keluarga dan lain – lain yang dianggap penting dalam hidupnya. Irene Hoft mengatakan, “konsep diri adalah cara kita memandang diri kita sendiri, bukan hanya menatap kedalam cermin dan memandang penampilan luar kita, melainkan apa yang kita percayai tentang diri kita sendiri.”
Pernyataan diatas apa yang seseorang percayai tentang dirinya, biasanya diperoleh dari orang – orang yang dianggap penting dalam hidupnya, misalnya orang tua, guru, teman sebaya atau orang penting lainnya. Sehingga dengan demikian akan mempengaruhi pola pikir individu itu sendiri. Untuk lebih jelas, Horlock menjelaskan 2 ( dua ) tahapan terbentuknya konsep diri , yaitu :
1) Konsep diri primer ; konsep ini terbentuk atas dasar pengalaman seseorang tentang lingkungan terdekat rumahnya sendiri yaitu orang tua, saudara kandung, kakek, nenek dan orang lain yang tinggal bersama didalam satu rumah.
2) Konsep diri sekunder; setalah anak bertambah besar, ia mempunyai pergaulan yang lebih luas bukan sekedar keluarga tetapi diluar rumah ia mulai mendapat banyak teman dan orang lain yang dikenal


Jika disatukan kedua konsep diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri setiap orang terbentuk sejak kecil yang dimulai dengan lingkungan rumah tangga yakni ayah, ibu, kakak adik, dan lain sebagainya. Selanjutnya adalah dimulai dengan lingkungan sekitar dimana anak mulai bersosialisasi dengan teman sebaya. Jadi, dari sinilah terbentuknya konsep diri seseorang. Sikap dan perilaku yang diterima dan lihat oleh anak dalam lingkungan diatas, akan mempengaruhi diri anak itu sendiri.

Gunarsa juga mengatakan, “pada dasarnya konsep diri timbul dikarenanakan diri sendiri yang menyatakan, yang artinya konsep diri adalah saya seperti saya melihat diri saya sendiri.” Dari pengertian diatas jelas bahwa konsep diri merupakan gagasan yang dimiliki seseorang untuk menjelaskan dirinya, itu bukan pandangan luar seseorang tentang dirinya tetapi itu terdapat didalam diri orang tersebut.

Setiap orang pasti mempunyai konsep tentang dirinya, karena apa yang ada dilingkungan sekitarnya akan menggambarkan dirinya. Gunarsa mengatakan, “konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan antara dirinya dengan saudara – saudara lainnya. Sedangkan konsep tentang bagaimana perannya, tanggung jawabnya, dan aspirasi – aspirasinya, banyak ditentukan atas dasar didikan ataupun tekanan – tekanan yang datang dari orang tuanya.” Jadi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri itu, bersumber dari diri individu itu sendiri, yakni bagaimana ia menilai dan memandang dirinya dari situasi atau lingkungan yang berbeda – beda.


1.2 Pembentukan Konsep Diri

1) Kebutuhan pribadi yang memotifasi

Manusia dilahirkan dengan suatu kebutuhan yang diciptakan Allah, yaitu kebutuhan untuk merasa aman dan dihargai. Karena itu, tidak salah kalau seseorang haus untuk dikasihi, dihargai, diterima, dan dibutuhkan oleh orang – orang yang dia anggap penting. Atas dasar inilah manusia atau individu selalu berusaha untuk mengembangkan dirinya yakni untuk mencapai suatu kebutuhan tertentu.
Kebutuhan – kebutuhan untuk merasa aman dan dihargai yang dibawa sejak lahir ini, harus dipenuhi. Tidak dapat seorangpun yang dapat bertahan dalam hidupnya, tanpa kebutuhan – kebutuhan ini dipenuhisampai pada harapan tertentu. Setiap orang terdorong secara alami untuk mencari jalan keluar agar ia benar – benar merasa aman, berharga dan memiliki kemampuan.
2) Proses berpikir
Pada waktu bayi, setiap individu memulai usahanya untuk merasa aman dan dihargai dengan cara menerima dan menilai tindakan – tindakan dan reaksi – reaksi orang-tuanya terhadapnya. Ia tampaknya dapat membedakan dipuji dan dimarahi. Ia tahu hal – hal yang dianggapnya sebagai kasih atau penolakan. Jika ia merasa dikasihi dan diterima, ia mulai mengembangkan perasaan – perasaan positif mengenai dirinya; sebaliknya penolakan menimbulkan perasaan – perasaan negatif mengenai harga dirinya sebagai pribadi.
Semakin bertambah usia anak, maka ia juga akan terus menerus menambah dalam ingatannya, dalam berbagai kenangan dan penilaian mengenai reaksi – reaksi orang lain terhadap dirinya. Perkembangan yang terjadi pada masa ini terdiri atas tiga bidang yaitu : Penampilan – Berapa baikkah penampilan saya ? Prestasi – Berapa baikkah pekerjaan yang saya buat ? Status – Berapa pentingkah saya ? Sehingga dengan demikian perkembangan dan pengembangan yang dilakukan oleh orang tua dan anak itu sendiri akan terbentuk sebuah konsep diri yang positif, atau sebaliknya, sesuai dengan yang dialami oleh individu itu sendiri.



1.3 Dua Macam Konsep Diri

1) Konsep Diri Positif

Sidjabat menyatakan bahwa konsep diri positif adalah konsep diri yang membuat seseorang dapat mengenal dan menerima seluruh keberadaan diri ( kekurangan atau kelebihan ) yang sesungguhnya. Dari penjelasan tersebut, dimengerti bahwa orang yang memiliki konsep diri yang positif adalah orang yang selalu optimis dalam segala sesuatu yang ia lakukan, tanpa dipengaruhi oleh faktor faktor – faktor tertentu, termasuk dirinya sendiri dan orang lain. Konsep positif membawa seseorang pada kehidupan yang indah, tidak ada kekecewaan, kepahitan, rasa cemas maupun dendam yang tidak dapat dilepaskan. Orang yang mempunyai konsep diri yang positif adalah selalu berpikir positif tentang dirinya dan orang lain, ia akan merasa dikasihi, dihargai, merasa berarti, dan mampu menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Harris memberikan contoh mengenai konsep diri positif, yaitu sebagai berikut :
“Judi menganggap dirinya cantik, pandai, populer dan mampu. Apabila ada pekerjaan yang harus dilakukan, ia langsung menyambar dengan penuh semangat disertai dengan keyakinan akan kemampuannya, karena kemampuannya itu dan ia juga bisa diandalkan, ia sering diminta berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan berbagai proyek yang menambah kesempatan baginya untuk belajar, mempraktekkan kemauannya serta mengalami keberhasilan.”


Hurlock menyatakan, “bila konsep diri positif, maka akan timbul sifat – sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realistis.” Konsep diri yang positif ini berkaitan dengan bagaimana seseorang memandang dirinya, apakah baik atau tidak, mempunyai kualitas atau tidak, dihargai orang atau tidak, serta segala bentuk penilaian yang mengarah kepada diri orang itu sendiri. Itulah yang disebut dengan konsep diri setiap orang masing – masing berbeda. Namun demikian, yang dimaksudkan dengan konsep diri yang positif adalah “apapun keberadaan dirinya, dan bagaimanapun orang lain mengatakan tentang dirinya, maka ia tetap berusaha untuk menerima dengan sikap dan pandangan yang positif. Segala bentuk kekurangan yang ada pada dirinya, itu tidak akan membuat dirinya lemah, menyerah, tetapi ia tetap percaya serta memiliki keyakinan bahwa ia bisa.
2) Konsep Diri Negatif
Konsep diri negatif sangat bertolak belakang dengan konsep diri positif, dimana konsep diri nagatif membawa seseorang untuk memandang dirinya dengan nagatif dan akan bertindak nagatif pula. Samuel Sidjabat menyatakan, “jika seseorang cenderung membenci diri ( kesal terhadap diri dan latar belakang ), maka pada dasarnya orang yang seperti itu memiliki konsep diri negatif” Seseorang tidak dapat menerima dengan baik keberadaannya apabila ia merasa dirinya bodoh, tidak berguna, jelek, tidak berharga sehingga cenderung menutup diri. Inilah yang sering diistilahkan dengan introvert.
Dalam hubungannya dengan orang lain, individu yang memiliki konsep diri negatif sulit untuk memnina relasi / hubungan yang sehat. Dikarenakan individu tersebut dibayangi oleh rasa rendah diri ataupun tidak percaya diri sehingga cenderung tidak tahan bila menghadapi konflik bahkan menghindarinya karena marena takut gagal. Sidjabat juga menyatakan bahwa “jika orang dengan konsep diri negatif menghadapi konflik maka ia cenderung memilih jalan pintas yakni manarik diri dari masalah.” Ketakutan itu akan terus membayangi orang yang memiliki konsep diri nagatif, akibatnya mereka cenderung untuk bersikap aneh, seperti misalnya mereka akan tetap mempertahankan persepsi tentang dirinya yang negatif itu dan menganggapnya menjadi sesuatu yang positif.
Clemens dan Bean dalam bukunya “Membangkitkan harga diri anak” menyatakan bahwa :
“Jika anak memegang kuat keyakinan negatif tentang dirinya, maka ia cenderung mengekspresikannya seperti layaknya suatu hal yang positif, mereka akan mencari peneguhan dan mempertahankan hal itu. Contohnya seorang anak yang yakin bahwa ia tidak disukai atau dipercaya mungkin akan menolak upaya orang lain untuk meyakinkannya bahwa mereka menyukai atau ingin membantunya.”

Pandangan dan pola pikir negatif seseorang tentang dirinya ditunjukkan dengan berbagai macam sikap, perasaan dan tingkah laku, semua bergantung dari respon tiap – tiap individu terhadap konsep dirinya yang negatif.
Alkitab juga memberi contoh bagaimana respon seseorang dalam memandang dirinya yaitu Musa. Musa berkata kepada Allah dalam Keluaran 3 : 11, “siapakah aku ini maka aku yang menghadapi Firaun dan membawa orang Israel keluar dari tanah Mesir ?” Ayat ini adalah berbicara mengenai bagaimana pandangan Musa terhadap dirinya. Dengan kata lain Musa merasa dan memikirkan bahwa dirinya tidak mampu, sanggup memimpin orang sebanyak itu. Dalam Keluaran 4 : 10, juga dijelaskan bahwa dirinya ( Musa ) tidak bisa berbuat apa – apa, dan tidak pandai bicara, dikatakan saat Tuhan berfirman kepadanya dan dulunya ( sebelum Tuhan berfirman kepadanya ), ia menganggap dirinya tidak bisa berbuat apa – apa. Respon Musa terhadap perintah Tuhan ialah Musa tidak menjawab dengan pasti tetapi dengan keragu – raguan, ia merasa tidak percaya diri. Apa yang telah dilakukan Musa dala konteks diatas merupakan konsep diri positif.

1.4 Konsep Diri Yang Tidak Tepat
Tindakan dan reaksi orang lain merupakan “cermin” yang kita pakai untuk mengetahui seperti apa kita sebenarnya. Sebagaimana halnya rumah kaca di dunia fantasi (Dufan ), refleksinya merupakan gambar yang menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya. Demikian pula ciri – ciri bawaan manusia menyebabkannya tidak mungkin menjadi cermin yang tepat untuk mengetahui diri setiap orang yang sebenarnya. Ini berarti merupakan suatu proses belajar yang kurang tepat, salah, karena tidak berdasarkan realita yang sebenarnya.
Dalam lingkungan sosial, konsep diri yang tidak tepat, juga terkadang muncul dipermukaan, yakni masalah penafsiran yang subjektif. Baik orang dewasa maupun anak yang sedang bertumbuh, sebagian besar membentuk dan menguji kebenaran konsep dirinya melalui pergaulannya dengan orang lain. Citra dirinya terbentuk bukan berdarkan pada pendapat orang lain tentang dirinya, melainkan pada apa yang menurutnya merupakan pendapat orang lain tentang dirinya. Apalagi tanggapannya tentang perkataan atau tindakan orang lain sangat dipengaruhi oleh sikap mentalnya sendiri, yang disimpan dan memperkuat konsep dirinya yang sudah terbentuk itu. Contoh :
“Jika ia telah memiliki pandangan yang buruk tentang dirinya, ia tidak percaya bahwa ia sungguh – sungguh berharga. Jika ia menganggap dirinya seorang yang gagal, saran yang penuh kasih sekalipun akan ditafsirkannya sebagai kritikan dan bukti bahwa ia memang seorang yang gagal”.

Hal tersebut diatas merupakan penafsiran subjektif yang salah dan keliru. Hal inilah yang membuat seseorang tidak memiliki konsep diri yang positif, oleh karena individu itu sendiri belajar dari apa yang orang lain katakan tentang dirinya, meskipun tidak tepat atau benar. Inilah yang disebut dengan konsep diri yang tidak tepat.

1.5 Pengaruh Konsep Diri Pada Perilaku dan Emosi
Konsep diri yang bergantung pada prestasi akan menyebabkan seseorang untuk mencapai tingkat keahlian dan kesempurnaan yang lebih tinggi. Artinya ketika ia merencanakan sesuatu, maka terlebih dahulu ia pasti akan menimbang seberapa besar keberhasilan dan bahkan kerugian yang dihadapi atau tercapai. Sehingga dengan demikian ia akan belajar dan bekerja keras untuk mencapai suatu keberhasilan itu.
Hal yang kedua yang memberi pengaruh dalam perilaku dan emosi adalah status. Pentingnya status dalam masyarakat Indonesia dapat kita lihat dalam kehidupan sehari – hari. Jika dua orang buruh ditugaskan untuk melakukan suatu pekerjaan, maka salah seorang diantaranya akan bersikap seperti “majikan”, sedangkan yang seorang lagi harus bekerja keras. Seorang mahasiswa dapat bersikap rendah hati dan penurut selama ia masih mengejar gelar kesarjanaannya. Tetapi begitu ia lulus, statusnya dimasyarakat menjasi naik.
Dalam I Samuel 10 : 21 – 23, ketika Saul diurapi menjadi raja Israel, ia berusaha menyembunyikan dirinya. Samuel menyebut dia “kecil pada pandanganmu sendiri”, ( 15 : 17 ). Tetapi kemudian, sesudah menjadi raja, Saul menuruti keingginan rakyatnya dan melanggar perintah Tuhan, karena ia “takut kepada rakyat”. Dari teks diatas, dapat dimengerti bahwa status juga sangat mempengaruhi konsep diri seseorang; awalnya Saul tidak percaya diri, tetapi kemudian setelah ia menjadi raja, cara berpikirnya menjadi berubah.
1.6 Aspek – Aspek Konsep Diri
Secara umum, konsep diri dirumuskan dalam dimensi yang berbeda – beda bergantung pada sudut pandang masing – masing ahli. Song dan Hattie ( 1984 ) menyatakan bahwa aspek – aspek konsep diri terdiri dari konsep diri akademis dan konsep diri non-akademis. Konsep diri non-akademis dibedakan lagi menjadi konsep diri sosial dan penampilan diri. Jadi, pada dasarnya konsep diri mencakup aspek konsep diri akademis, konsep diri sosial dan penampilan diri. Untuk lebih jelas lagi akan dibahas dibawah ini.
a. Konsep diri akademis.
Berdasarkan hasil penelitian Shupe dan Yager dan Yeung dan Marsh dalam O’Mara dkk, tentang pengaruh konsep diri yakni bahwa konsep diri sangat berpengaruh terhadap pencapaian nilai – nilai akademik. Seseorang yang memiliki konsep diri positif cenderung memiliki pencapaian akademik yang lebih baik. Artinya adalah setiap anak yang nilai akademiknya dibawah rata – rata, maka dapat dipastikan individu tersebut tidak memiliki konsep diri positif dalam belajar. Sehingga dengan demikian akan mempengaruhi cara belajarnya.
b. Konsep diri sosial
c. Penampilan diri.

1.7 Faktor – faktor yang mempengaruhi konsep diri
Secara umum, konsep diri sebagai gambaran diri sendiri dipengaruhi oleh hubungan atau interaksi individu dengan lingkungan sekitar, pengamatan terhadap diri sendiri dan pengalaman dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana halnya dalam perkembangan pada umumnya, keluarga khususnya, orang tua berperan penting dalam perkembangan konsep diri anak. Konsep diri terbentuk dan atau berkembang secara gradual dalam proses pengasuhan termasuk interaksi antara ibu dan anak.
Friedman menjelaskan bahwa pengasuhan orang tua berdampak pada konstruk psikologi anak. Model pengasuhan permisif dan otoriter cenderung mengakibatkan konsep diri dan kompetensi sosial yang rendah. Sedangkan pengasuhan dengan model otoritatif cenderung menghasilkian konsep diri, kompetensi sosial dan independensi yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena orang tua disamping melakukan kontrol, namun juga memberikan kebebasan sehingga anak dapat pula menerima dirinya dan mengembangkan konsep diri yang positif. Sebaliknya, orang tua otoriter dan permisif tidak memberikan iklim yang kondusif bagi perkembangan konsep diri positif bahkan mengarah kepada konsep diri negatif.
Tinjauan terakhir terhadap penelitian menyimpulkan bahwa secara umum, anak yang bermoral cenderung memiliki orang tua yang :
a. Hangat dan mendukung, ketimbang menghukum
b. Menggunakan disiplin induktif
c. Memberikan kesempatan bagi anak dalam mempelajari dan memahami perasaan orang lain
d. Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga dan dalam proses pemikiran mengenai keputusan moral
e. Menjadi model dalam penalaran dan perilaku moral, dan menyediakan kesempatan bagi anak untuk juga melakukan hal tersebut
f. Membangun moralitas internal alih – alih eksternal

Hubungan konsep diri dengan moralitas terletak pada tindakan atau perbuatan setiap individu yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Anak yang bermoral cenderung memiliki pemahaman dan konsep diri yang positif. Hal adalah berawal dari semua pengalaman anak dari lingkungann keluarga itu sendiri. Jadi, masalah moral juga sebagai bagian kecil dalam konsep diri memiliki hubungan dengan pola asuh keluarga.
Konsep diri dalam konteks sosial, dipengaruhi oleh evaluasi signifikan orang lain, pengalaman positif dan penguatan negatif ( negative reinforcement ) baik dari diri sendiri maupun orang lain, termasuk pengalaman perilaku kekerasan dalam keluarga. Anak yang selalu menerima pujian karena prestasinya bagus, cenderung memiliki rasa bangga dan percaya diri oleh karena pujian yang diberikan. Tetapi sebaliknya, anak yang menerima ejekan bahkan kutukan dari teman sabaya atau dari orang tua karena nilai rapornya jelek, cenderung memiliki konsep dan pemahaman diri yang rendah, bahkan putus asa, patah semangat, tidak percaya diri, dan lain sebagainya. Hal tersebut diatas sangat berpengaruh dalam kehidupan pengembangan diri anak.
Berdasarkan telaah deskriptif dan analisis empiris mengenai konsep diri dapat dikemukakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi konsep diri siswa mencakup :
a. Faktor keadaan fisik dan penilaian orang lain mengenai fisik indivu;
b. Faktor keluarga termasuk pengasuhan orang tua
c. Pengalaman perilaku kekerasan
d. Sikap saudara dan status ekonomi
e. Lingkungan sekolah
Kelima faktor tersebut diatas adalah sangat mendominasi pola hidup, cara berpikir serta konsep diri anak. Selain faktor fisik diatas, anak umumnya melihat dirinya berdasarkan pengalaman lewat lingkungan sekitarnya. Carl Rogers berpendapat bahwa self-concept adalah persepsi tentang karakteristik dan kemampuan dirinya sendiri; persepsi dan konsepsi tentang dirinya sendiri dalam kaitan dengan orang lain dan dalam lingkungannya. Karena itu dalam kehidupan setiap individu sangat diperlukan pengasuhan serta suasana lingkungan yang kundusif guna untuk membangun dan menciptakan konsep diri positif serta supaya individu mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

1.8 Sumber – sumber Konsep Diri
Konsep diri seseorang tidak terbentuk dengan begitu saja, namun dibentuk oleh beberapa sumber. Sumber yang dimaksud adalah :
1) Allah
Berbicara tentang konsep diri, maka Allah sebagai pencipta langit dan bumi merupakan sumber utama konsep diri manusia sebagai makhluk yang utuh; berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya. Manusia adalah mahkota dan puncak segala ciptaan . Artinya segala ciptaan yang lain itu dijadikan untuk manusia. Alam dan makhluk – makhluk lain adalah untuk manusia. Allah menempatkan manusia diatas segala makhluk lain. Hal ini nampak jelas, bahwa manusia itu diciptakan menurut “gambar Allah” (Kejadian 1 : 26).
Lebih jelas lagi, dalam penciptaan manusia dengan makhluk lainnya, manusia diciptakan menrut gambar dan rupa Allah dengan buatan tangan-Nya sendiri, bukan dengan cara berfirman; berbeda dengan makhluk ciptaan lain. Yang perlu untuk dipahami disini adalah bahwa manusia diciptakan oleh Allah segambar dan serupa dengan Dia (Kejadian 1 : 26). Segambar dan serupa artinya manusia memiliki Roh Allah. Sedangkan gambar Allah artinya manusia adalah wakil Allah . Inilah yang mendasari konsep diri masnusia itu bersumber dari Allah sebagai pencipata.
Selain penjelasan diatas, perlu juga untuk dipahami bahwa manusia diciptakan oleh Allah, tetapi manusia itu tidak diciptakan seperti robot, yang bertindak dan berbuat sesuatu secara otomatis dan mekanis ( gerakan mesin ). Allah menghendaki agar manusia taat dan mengabdi kepada-Nya, atas kesadaran dankeputusannya sendiri. Untuk itu Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memutuskan sendiri.; taat kepada Allah atau tidak.
2) Keluarga
Dasar pembentukan kepribadian seseorang dimulai dilingkungannya sendiri, yaitu orang tua, saudara – saudara kandung, paman, bibi, kakek, nenek ataupun dengan orang lain yang bukan keluarga tetapi tinggal dilingkungan rumahnya sendiri. Sidjabat menyatakan bahwa, hampir 85 % dari kepribadian seseorang pada dasarnya telah terbentuk pada usia 6 tahun pertama dan lingkungan primer pembentuknya adalah keluarga. Dari pernyataan tersebut diatas, sangat jelaslah bahwa keluarga merupakan sumber utama dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak.
Masa dimana anak hanya dekat dengan lingkungan keluarganya, membuat keluarga menjadi sangat penting didalam penanaman kepribadian, usia seperti ini belum disentuh oleh lingkungan yang luas, ia hanya tahu bahwa orang yang terdekatnya ( keluarga ) yang patuh ia contoh. Stanley dalam buku “Teologi Pendidikan Anak” menyatakan bahwa “masa pembentukan watak yang paling kritis adalah pada usia dibawah 5 tahun, sementara kepribadian terbentuk pada usia pra-sekolah. Pola pikir dan pengertian seorang anak tentang baik dan buruk hampir terangkum sebelum menginjak usia remaja.” Dalam hal ini orang tua yang memiliki tugas dan panggilan utama untuk membentuk kepribadian anak. Anak diibaratkan seperti selembar kertas yang masih belum ditulisi, yang mengawali untuk menulis kertas itu adalah orang tua, maka dari itulah apa yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak sangat berpengaruh kuat bagi kehidupan anak.
Berbicara mengenai konsep diri, Dowell menyatakan bahwa “perkembangan awal dari konsep diri terletak didalam hubungan anak dengan orang tua, anak belajar mengenai siapa dirinya dan seperti apa dirinya dari orang tua.” Hubungan orang tua dengan anak mempengaruhi konsep dirinya, dimana konsep diri terbentuk pertama – tama dilingkungan keluarga awal. Sidjabat menyatakan bahwa “dalam perspektif Alkitab juga dapat ditemukan penjelasan bahwa sejak zaman Adam, setiap anak sudah membawa warisan sifat, nilai dan watak dari, orang tuanya.” Cara orang tua mendidik, mengasihi, memperhatikan ataupun mendisiplin mempengaruhi sikap dan perilaku anak dikemudian harinya. Alkitab juga memberikan contoh seorang tokoh yang bernama Yefta ( Hakim – hakim 11 : 1 – 12 ), disana dijelaskan bahwa pada waktu kecil ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak bahagia, tidak ada ibu yang memelihara dengan sentuhan dan ucapan lembut yang menyatakan kasih, tidak ada ayah yang memberikan perlindungan, begitu juga dengan saudara – saudaranya tidak ada yang menerimanya. Ini berarti bahwa parasaan aman dan perasaan berharga tidak terbentuk dengan baik dalam diri Yefta, sehingga pada akhir kisahnya, ia melakukan tindakan yang gegabah dengan bernazar dihadapan Tuhan bahwa siapa yang dijumpai pertama keluar dari pintu rumah, maka ia akan dipersembahkan. Pada Akhirnya putri tunggalnyalah yang menjadi korban akibat dari kecerobohannya itu. Sepintas dari kisah Yefta ini, sangat jelas bahwa apa yang dilihat, dirasakan dan dialami Yefta, itu membentuk sebuah konsep hidupnya, sikap dan perbuatannya sampai dikemudian harinya.
Wes Haystead dalam bukunya “Mengenalkan Allah Kepada Anak” memberi contoh tindakan orang tua yang membentuk konsep diri anak, yaitu :
“anak yang terus dikata – katai tidak becus, atau ceroboh serta diteriaki “awas... hati – hati ! Awas nanti tumpah !... Jangan, kamu masih terlalu kecil. Biar papa yang melakukannya... Nah, sudah papa bilang, kamu tidak bisa membawanya !” Secara alamiah akan menyimpulkan bahwa ia tidak mampu berbuat apa – apa. Karena itu, bila membawa sesuatu, barang – barang itu cenderung terjatuh, sebab ia kurang percaya diri.”

Contoh tersebut diatas adalah menjelaskan bahwa kata – kata yang sering diucapkan dengan berulang – ulang oleh orang tua membuat itu terkonsep dalam diri anak. Sehingga pada akhirnya membuat anak menjadi seperti apa yang dikatakan oleh prang tuanya itu. Sidjabat juga menyatakan “cara orang memperhatikan, menghargai, memberi pengajaran, mendisiplin ( memuji atau menghukum ), akan menjadi kesan yang mendalam tentang pola perasaan, pemikiran, sikap dan tingkah laku yang akan didemonstrasikan dikemudian harinya.” Ini berarti bahwa kebiasaan atau kesan baik atau buruk yang dialami anak dimasa kecilnya, itu akan mempengaruhi pola hidupnya dimasa yang akan datang.
Allah mempercayakan orang tua kepada suatu tanggung jawab untuk membesarkan anak dengan baik bukan untuk menghancurkan hidup seorang anak. Tindakan – tindakan orang tua untuk membesarkan anak dan pengalaman hidup yang dialami anak bersama orang tua menggambarkan akan seperti apa mereka kelak. Hal ini digambarkan oleh Dorothy Law Nolte yang ditulis oleh Samuel Sidjabat dalam nasehat – nasehat membesarkan anak, diantaranya yaitu :
“Bila seorang anak hidup dengan kritik ia belajar untuk menyalahkan dirinya. Bila seorang anak hidup dengan rasa benci, maka ia akan belajar berkelahi. Bila seorang anak hidup dengan ejekan, maka ia akan belajar menjadi pemalu. Bila seorang anak hidup dengan semangat, maka ia akan belajar kepercayaan diri. Bila seorang anak hidup dengan pujian, maka ia belajar menghargai. Bila seorang anak hidup dengan persetujuan, maka ia belajar hidup menyukai dirinya sendiri. Bila seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, maka ia belajar mencari cinta dalam dunia.”

Dari beberapa pernyataan diatas, penulis menyimpulkan bahwa arsitek utama anak dalam membentuk kepribadiannya adalah orang tua. Baik buruknya anak tersebut tergantung dari orang tua yang mendididik, membina dan yang membentuknya.
3) Lingkungan Masyarakat
Ketika anak sudah mulai besar, ia tidak hanya berada pada lingkungan keluarga saja. Lingkungan dalam ia berkomunikasi semakin lebih luas, anak – anak akan berhubungan dengan teman – temannya, dengan gurunya, dan masyarakat disekitarnya. Dari situlah pengalaman anak akan lebih banyak lagi. Pada akhirnya anak akan mendapatkan konsep diri yang baru selain dari konsep diri yang dibentuk oleh kaluarga, tetapi bukan berarti konsep diri dari orang tua menjadi hilang. Gunarsa menyatakan bahwa “terbentuk dan ditentukan pula dari konsep diri yang dibentuk orang tua. Misalnya apabila konsep awal yang dimiliki anak tergolong sebagai seorang yang pendiam, maka ia akan cenderung memilih teman yang sesuai dengan konsep dirinya itu dan teman – teman barunya itulah yang nantinya menunjang terbentukknya konsep diri baru.”
Dari penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa orang tua sebagai masyarakat awal dalam kehidupan seorang anak sangat mempengaruhi konsep diri seorang anak. Dalam hal ini, ada dua kelompok yang dapat mempengaruhi konsep diri anak tersebut, pertama dari orang tua dan dari teman sebaya yang semuanya akan mempengaruhi konsep diri anak tersebut. Jadi, temana sebaya sebagai bagian masyarakat anak adalah merupakan salah satu sumber konsep diri dari anak; yang dapat memberi dan membentuk konsep diri setiap anak; hal tersebut bergantung pada bagaimana dan seperti apa yang dirasakan dan diterima oleh anak tersebut dalam pergaulannya, maka itu akan mempengaruhi konsep dirinya.
4) Lingkungan Pendidikan
Masalah pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, pikiran dan perasaan. Dalam kehidupan sosial ( masyarakat ) pendidikan memiliki peranan yang sangat penting sebagai tolak ukur pengetahuan setiap individu. Orang yang berpendidikan umumnya dipandang sebagai seorang yang memiliki pengetahuan banyak, walaupun pada kenyataanya tidak sama dengan kenyataan. Karena itu dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bab II Pasal 3, mengatakan bahwa :
“Pendidikan nasioanal berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuannya untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Arti dari pernyataan diatas adalah tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan yang dimaksud adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peserta didik yang sehat, berilmu, cakap dam kreatif serta mandiri. Mutu pendidikan yang berkualitas adalah tercermin dari konsep diri peserta didik dalam pembelajaran serta untuk mengembangkan bakat sesuai dengan potensi yang ada pada peserta didik, yang tentunya didukung oleh guru sebagai pembina.
Guru adalah tokoh pembina mental, bakat, talenta dan prestasi siswa sebagai pengelola pendidikan. Keberhasilan seorang siswa dalam meraih prestasi tentu tidak bisa dilepaskan dari peran seorang guru yang mampu menjaga mutu dan kualitasnya sebagai guru . Artinya adalah keberhasilan seorang siswa dalam pencapaian nilai dan prestasi yang baik, adalah barada ditangan guru dan bargantung kepada peserta didik. Dalam hal ini perlu suatu kerjasama yang baik antara guru dan peserta didik; sehingga dengan demikian dapat tercipta suatu konsep berpikir positif terhadap siswa. Jadi, lembaga pendikan juga adalah sebagai salah satu sumber pembentuk konsep diri peserta didik.
.
5) Gereja
Gereja adalah sekumpulan orang yang terhimpun dan mengambil keputusan untuk menerima Kristus sebagai Juru Slamat . Itu berarti bahwa orang yang menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya merupakan individu yang memiliki konsep diri yang positif. Sebaliknya orang yang tidak mengaku dan menerima Kristus sebagai Tuhannya adalah indifidu yang memiliki konsep diri yang negatif.
Rekan – rekan seiman atau sesama warga gereja, guru sekolah minggu, majelis jemaat atau pendeta, juga merupakan pribadi – pribadi yang turut mempengaruhi gambaran yang kita peroleh, khususnya mengenai perkara – perkara kerohanian. Tidak jarang kita lihat adanya tokoh rohani dalam suatu gereja yang begitu disanjung oleh warganya, karena perkataan, sikap dan gaya hidupnya mampu memberi kesan khusus dala diri mereka. Tokoh – tokoh digereja ini, mungkin memberikan perhatian yang sangat besar sehingga warga jemaat bangga menjadi anggota gereja. Kalau tokoh itu kurang mempunyai kepribadian yang baik hal demikian sudah tentu ikut serta membentuk pemahaman dan perasaan warga. Kalau mereka melihat seorang pimpinan gereja tadinya berkharisma minsalnya, namun kemudia melakukan perbuatan cela, maka konsep mereka mengenai kekristenan, pekerjaan Tuhan dan spiritualitas bisa saja ikut terpengaruhi.
6) Fisik
Masalah fisik merupakan masalah yang rentan khususnya bagi remaja, sesuai dengan masa dimana perkembangan fisik menjadi sangat menonjol. Seorang remaja akan merasa gelisah apabila dibagian wajahnya terdapat jerawat, ataupun merasa tidak percaya diri karena badannya terlampau gemuk. Perasaan seperti ini menunjukkan orang tersebut sudah menggambarkan diri sebagai orang yang tidak percaya diri, dan itu akan berpengaruh bagi perilakunya. Media masa sering membuat suatu standar atau ukuran kecantikan, media masa mempengaruhi setiap orang yang membaca, mendengar dan melihatnya. Dalam hal ini tidak jarang terlihat media masa hanya mengajukan “model” manusia berpenampilan “sempurna” (bentuk fisik atau penampilan) kepada publik. Semua itu tertanamkan dalam diri remaja, sehingga mereka memandang itu sebagai suatu standar atau ukuran dari kecantikan.
Harian kompas juga menulis bahwa pengaruh media masa tentang kecantikan sangat besar terhadap remaja bahwa, “media masa membangun image remaja putri yang “oke” adalah yang berkulit putih, bertubuh langsing, dan berpayudara besar.” Demi mengejar body image seperti itu, banyak yang termakan dan berusaha menjadi image seperti yang dikatakan dimedia masa. Dari hal tersebut, akhirnya setiap orang yang tidak termasuk dalam kriteria itu merasa dirinya tidak berarti dibandingkan dengan orang lain, yang memiliki kriteria yang sesuai dengan standar media masa.
1.9 Pentingnya Konsep Diri Positif
Penilaian seseorang atau pandangan seseorang tentang dirinya sangat menentukan kehidupannya. Seseorang bisa saja menilai orang lain, tetapi itu tidak terlalu mempengaruhi hidup orang tersebut dibandingkan dengan bagaimana seseorang itumenilai dan menerima dirinya. Fuxie mengatakan, “penilaian orang lain terhadap saya tidaklah sepenting apa penilaian saya terhadap diri saya. Kehidupan saya sangat tergantung kepada konsep diri saya.” Jadi, keberhasilan dalam hidup ditentukan dari seikap, perasaan dan tindakan seseorang yang sesuai dengan konsep dirinya. Konsep diri lebih kepada diri sendiri, yaitu apabila seseorang memiliki konsep diri positif, maka sikap perasaan, dan tindakannya akan baik. Begitu sebaliknya apabila seseorang mempunyai konsep diri nagatif, maka yang akan terjadi sesuatu yang negatif yang lebih banyak merugikan diri sendiri dari pada merugikan orang lain.
Perlu juga diketahui, antara konsep diri dengan harga diri saling berkaitan. Harris Clemes, menegaskan bahwa “apabila seseorang memandang dirinya secara positif, maka orang tersebut pasti mempunyai harga diri tinggi, sedangkan pandangan negatif tentang diri sendiri dihubungkan dengan harga diri yang rendah.” Dari pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa konsep diri merupakan penentu baik buruknya harga diri setiap orang. Artinya adalah setiap individu yang mempunyai konsep diri yang positif tentang dirinya yakni bagaimana ia mempercayai dirinya serta percaya bahwa ia sanggup untuk menciptakan dan memberikan nilai – nilai yang positif kepada orang lain dan untuk dirinya, maka orang tersebut akan semakin dihargai dan memiliki harga diri yang baik pula.
Untuk memahami dan memperdalam pengertian diatas, Clemes dan Bean menguraikan dengan jelas bahwa konsep diri dan harga diri, memiliki hubungan ketika :
 Ia berhasil menyatakan konsep dirinya dalam prestasi; misalnya anak yang menganggap dirinya pemain bola yang baik, berhasil mencetak gol kemenangan.
 Ia menjelani hidup sesuai dengan standar pribadi yang berhubungan dengan konsep dirinya; contohnya, ketika anak menghargai kemampuan akademiknya mendapat nilai tertinggi dalam ujian matematika.
 Konsep dirinya telah dikukuhkan oleh orang lain; ketika seorang anak yakin ia telah melukis dengan sebaik – baiknya, menerima pujian untuk lukisannya itu.


Disinilah letak pentingnya konsep diri positif, dimana konsep diri akan mempengaruhi segala sesuatu dalam kehidupan seseorang. Mc Dowell dan Jones mengatakan, penelitian telah menunjukkan bahwa orang – orang berbuat sesuatu dengan gambaran mental yang mereka miliki mengenai diri mereka sendiri. Jika mereka melihat diri mereka sebagai seorang yang selalu mengalami kegagalan, maka mereka akan berbuat atau bertindak seperti orang yang sedang mengalami kegagalan. Bahkan seseorang menilai dirinya berharga atau tidak ditentukan oleh konsep diri yang dimiliki. Konsep diri positif membawa seseorang untuk menanggapi hidup ini dengan benar, baik itu kelebihan atau kekurangannya. Kekurangan yang ada padanya tidak membuat dirinya menjadi orang yang lamah, yang tidak menghargai hidup dan benci kepada diri sendiri sehingga sesuatu yang nagatif itu tidak membuat atau mempengaruhi seseorang berpikir dan bertindak yang nagatif pula.


2. Tinjauan Pengembangan Diri

2.1 Pengertian pengembangan diri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengembangan berarti proses, cara, perbuatan mengembangkan. Jika dihubungkan dengan pengembangan diri, maka dapat diterjemahkan sebagai suatu proses, atau cara untuk mengembangkan diri sendiri ( self ). Menurut Sartein the self is the individual as known to and felt about by the individual. Artinya adalah keseluruhan anggapan, penghayatan, sikap dan perasaan – perasaan, baik yang disadari maupun yang tidak disadari, yang ada pada seseorang tentang dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, bagi setiap terbuka kesempatan untuk mengembangkan setiap potensi yang ada dalam dirinya.
Dalam dunia usaha / bisnis dan perusahaan, kata pengembangan diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan / jabatan melalui pendidikan dan latihan. Hal ini adalah berkaitan dengan kemajuan perusahaan. Oleh karena itu, perlu suatu kegiatan pengembangan karyawan dalam berbagai bidang.
Dalam sebuah perusahaan, kegiatan pengembangan ini biasanya berpusat pada peningkatan Sumber Daya Manusia ( SDM ). Sumber daya yang dimaksud adalah mancakup “semua energi, ketrampilan, bakat dan pengetahuan manusia yang dipergunakan, secara potensial dapat atau harus dipergunakan untuk tujuan produksi dan jasa – jasa yang bermanfaat. Kesemuanya ini adalah menyangkut pengembangan diri. Katrampilan, bakat dan pengetahuan, mustahil dapat dipergunakan dengan baik kalau tidak dikembangkan. Demikian juga dalam hubungannya dengan peserta didik. Siswa yang berprestasi tentu diawali dengan belajar keras serta mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Inilah yang penulis tegaskan dalam konteks ini.
Pengembangan diri ( personal development ) juga diartikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuan diri sehingga potensi dan talenta yang dipunyai dapat terwujud semaksimal mungkin. Maureen Guirdham ( 1998 ), seorang ahli psikologi merumuskan : “Personal development is about enabling people to fulfill their potential, to expand their talents and to progress at work and through life with meaning and satisfaction. Ultimately, people have to develop themselves.” Bahasan tersebut diatas menekankan bahwa tujuan akhir dari pengembangan diri adalah bahwa orang yang bersangkutan secara individual mampu mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan potensi yang ada dalam dirinya.
Beranjak dari dunia usaha, penggunaan istilah pengembangan diri dalam dunia pendidikan dalam kebijakan kurikulum memang relatif baru. Kehadirannya menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun dalam prakteknya. Jika menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan, khususnya psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya dapat disepadankan dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim digunakan dan banyak dikenal. Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality).
Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian, yang di dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari atau pun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu biasa disebut self picture (gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the self (aku tak sadar) (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005). Menurut Freud (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk membedakan antara hal-hal tertentu yang terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.
Hak tersebut diatas menjelaskan dua gembaran yang terkandung dalam dalam diri (self) setiap individu. Hal yang pertama menyangkut masalah kesadaran dalam mepertimbangkan segala sesuatu, yang dikendalikan oleh ego atau diri (self), sedangkan yang kedua adalah menyangkut masalah ketidak-sadaran yang tercermin dalam kepribadian setiap individu. Jadi, dapat dikatakan bahwa kepribadian itu berada didalam diri ( self ) setiap individu.
Istilah “kepribadian” berasal dari kata Inggris personality berasal dari kata Latin personalitas. Akar kata ini adalah pesona, berasal dari kata Yunani prosopon yang berarti topeng. Penggunaan kata ini dalam zaman Yunani kuno bertujuan untuk menyembunyikan identitas yang sebenarnya, yaitu dengan menggunakan topeng dalam bermain drama, sehingga dengan demikian, setiap pemain dapat menunjukkan watak tokoh yang diperankannya. Jadi, dapat dipahami bahwa pengembangan diri adalah sedikit berbeda dengan pengembangan kepribadian. Karena itu, untuk lebih jelasnya, perlu diketahui dan dimengerti apa dan bagaimana prinsip – prinsip dari pengembangan diri itu sendiri. .
2.2 Prinsip – prinsip Pengembangan Diri
Pengembangan diri tidak harus melalui pendidikan formal atau pelatihan saja, melainkan semua situasi dimana kita berinteraksi dengan orang lain adalah bagian dari pengembangan diri. Seiring dengan proses pelaksanaan tugas atau kerja sehari – hari sebenarnya adalah merupakan bagian dari pengembangan diri setiap individu. Makna pertama pengembangan diri adalah apa yang disebut unsur “diri” self, yakni diri orang yang bersangkutan bukan guru atau pelatih ( trainers ). Jadi, sifatnya adalah individu bukan organisasi.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan diri, antara lain sebagai berikut :
a. Pengembangan diri dimulai dari diri kita sendiri
b. Pengembangan dilakukan dengan melakukan diagnosis diri; yakni dengan memahami belum optimalnya hasil kerja, dan berusaha untuk meningkatkannya.
c. Membuat alternative dan target pengembangan diri berdasarkan hasil diagnosis.
d. Mencari sumber belajar, seperti tempat kursus, sekolah atau universitas dan pembiayaan.
e. Mulai melaksanakan program pengembangan diri
f. Melakukan evaluasi, guna untuk mengetahui sejauhn mana pencapaian pengembangan diri yang telah dilakukan.

Pernyataan diatas mengandung suatu pemikiran yang berorientasi pada pengembangan diri menuju sebuah kesuksesan, baik kesuksesan dilingkungan pekerjaan, maupun kesuksesan diluar lingkungan kerja, dilingkungan keluarga serta dalam lingkungan pendidikan / sekolah.
2.3 Aspek – aspek Pengembangan Diri
1) Aspek Kognitif
2) Aspek Afektif
3) Aspek Psikomotorik
2.3 Bentuk – bentuk Pengembangan Diri
3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Diri
3.1 Faktor Pendukung
1) Visi ( cita – cita )
2) Keluarga
3) Guru
4) Gereja
3.2 Faktor Penghambat
1) Faktor yang berasal dari lingkungan
Sistem yang dianut. kadang – kadang system yang berlaku dalam lingkungan sekitar, apakah dalam pekerjaan pendidikan atau lingkungan social dimana kita berada, tanpa disadari menghambat pengembangan diri setiap individu, misalnya diberlakukannya sistem senioritas dalam jenjang jabatan dimana individu itu berkerja.
Tanggapan atau sikap / kebiasaan dalam lingkungan kebudayaan. Kadang – kadang tradisi atau kebiasaan yang berlaku menghambat perwujudan dari perkembangan diri seseorang.
2) Berpikir negative
Berpikir negatif sama dengan konsep diri negatif. Dalam diri seseorang “konsep diri negative yang cenderung membuat orang merasa tertolak, tersisihkan, tak berguna, tidak berarti dan tidak merasa puas. ada konsep dan perasaan buruk pada diri yang bersangkutan mengenai penampilan dirinya, latar belakangnya, prestasi studi dan kerjanya.”
3) Faktor usia
Kadang-kadang orang yang sudah tua dalam usia tidak melihat bahwa kearifan dan kebijaksanaan dapat dicapainya. Mereka cenderung bahwa usia muda lebih hebat karena produktif.
4.Dasar – dasar Pengembangan diri
5. Tujuan Pengembangan Diri
Dalam dunia karir atau bisnis, setiap individu berlomba – lomba untuk melakukan peningkatan kualitas dari karir atau bisnis yang sedang ia kerjakan. Kualitas yang dimaksud adalah nilai mutu dari barang itu sendiri atau orang sebagai pengelola / distributor bisnis itu sendiri. Berbicara tentang peningkatan kualitas diatas merupakan bagian dari pengembangan diri setiap individu. Dalam dunia pendidikan seorang peserta didik yang sedang belajar keras merupakan individu yang sedang meningkatkan mutu dan kualitas pendidikannya sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Model peningkatan kualitas pendidikan yang dilakuklan oleh peserta didik diatas adalah merupakan bagian dari pengembangan diri.
Secara umum Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi, dan perkembangan peserta didik dengan memperhatikan kondisi sekolah/ madrasah.



C. Kerangka Berpikir
D. Pengajuan Hopotesa




BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


A. Tujuan Penelitian
Terhadap setiap penelitian yang dilakukan tentunya ada satu tujuan yang ingin dicapai. Istilah “penelitian” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “research” (re berarti kembali dan search berarti mencari) secara teologis Kata penelitian sebagai reseach berarti mencari kembali.” Yaitu melakukan pengkajian ulang terhadap suatu masalah yang diteliti. Untuk lebih jelasnya Foarota menerangkan bahwa penelitian adalah usaha terencana dan sistematis untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan melalui penggunaan metode ilmiah tertentu.
Jadi, dalam karya ilmiah ini, untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan dapat dipercaya, maka perlu dilakukan penelitian secara ilmiah dan sistematis. Penelitian yang dimaksud adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri positif dengan pengembangan diri peserta didik, di SMA PSKD Depok, Jawa Barat. Sehingga dengan demikian dapat diuraikan secara sistematis berdasarkan data – data yang diperoleh, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.



B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dan waktu Penelitian yang dilakukan oleh penulis pada pembuatan skripsi ini adalah bertempat di SMA PSKD, Depok, Jawa Barat, Kelas XI di bawah Pimpinan Ibu Kepala Sekolah.

C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah kelompok di mana seseorang peneliti akan memperoleh hasil penelitian yang dapat disamaratakan (digeneralisasikan). Populasi dan sample ini tertuju pada Peserta didik kelas X dan XI yang merupakan siswa dari SMA Kasih Depok, Jawa Barat . Dengan jumlah peserta didik yang mengikuti Mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen dengan menerapkan Model Pembelajaran Terpadu, sebanyak 33 Orang kelas X dan 30 Orang kelas XI.

2. Teknik Sampling
Pengertian dari teknik sampling seperti yang diterangkan oleh J. Supranto yaitu suatu cara untuk mengumpulkan data yang sifatnya tidak menyeluruh artinya tidak mencakup seluruh objek penelitian (populasi=universe) akan tetapi hanya sebagian dari populasi saja yang mencakup sample yang diambil dari populasi tersebut. Dalam teknik sampling ada dua cara yaitu random dan bukan random. Tetapi berdasarkan riset penulis, maka yang terbaik adalah teknik random sampling sebab dapat memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sample. Seperti yang ditekankan oleh Sumanto yaitu sample random adalah proses pemilihan sample sedemikian rupa sehingga semua orang dalam populasi mempunyai kesempatan dan kebebasan yang sama untuk terpilih sebagai sample. Tujuan dari sampling adalah menggunakan sebagian dari objek penelitian yang diselidiki tersebut untuk memperoleh informasi tentang populasi

3. Sampel
Penulis menggunakan sampel, mewakili populasi yang ada sebab sesuai dengan penekanan sample ialah kumpulan elemen yang merupakan bagian kecil dari populasi, sedangkan sampling adalah cara pengumpulan data. Penulis melakukan riset kepada 30 orang peserta didik kelas XI yang mengikuti Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen ……………………………………………………….???????????????????

D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah metode survey dengan studi korelasional (correlational research) untuk menentukan ada tidaknya hubungan, dan seberapa jauh suatu hubungan antara dua variabel (yang dapat diukur atau lebih) . Pada research yang dilakukan penulis, hubungan korelasional yang dikaji terdapat 2 variabel yaitu Konsep Diri Positif (Variabel X) atau variable bebas dan Pengembangan diri Peserta didik (Variabel Y) atau variable terikat.
Adapaun hipotesa penelitian yang diajukan, dianalisa dengan menggunakan pearson product moment correlation dengan bantuan SPSS 18.0 for windows

E. Variabel Penelitian
Hubungan korelasional yang dikaji adalah antara 2 variabel penelitian yaitu Konsep diri positif (variable bebas atau X) dan Pengembangan diri Peserta didik (variabel terikat atau Y). Dugaan yang diperkirakan bahwa Konsep diri positif memiliki hubungan dengan Pengembangan diri Peserta didik di SMA PSKD Depok, Jawa Barat. Dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:


Variabel (X) rxy Variabel (Y)

Gambar 3.1
Hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas dalam penelitian

Keterangan:
X = variabel bebas yaitu Konsep diri positif
Y = variabel terikat yaitu Pengembangan diri
rxy = Korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat


F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah terdiri dari satu instrument yaitu untuk mengumpulkan data tentang Konsep diri positif dan Pengembangan diri peserta didik, yang kedua data diambil dari penyebaran angket kepada peserta didik kelas XI di SMA PSKD Depok , Jawa Barat yang sedang mengikuti mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen. Adapun ringkasan dari teknik pengumpulan data dalam melakukan riset ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 3.2
Teknik Pengumpulan Data

No Variabel Model Skala Pengumpulan Data Rentang skor Skala Data Sumber Data Unit Analisis
1 Model Pembelajaran Terpadu Skala Likert 1-4 Interval Peserta didik Peserta didik
2 Peningkatan minat Belajar Peserta didik Skala Likert 1-4- Interval Peserta didik Peserta didik

G. Instrumen Penelitian
Instrumen Penelitian yang dipakai untuk mengumpulkan data Konsep diri positif dan Pengembangan diri peserta didik dilakukan dengan model skala likert. ”Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau kelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial.” Skala sikap yang dipakai dalam model likert ini dengan rentang pengukuran 1-4 dengan pilihan jawaban terhadap setiap pertanyaan sebagai berikut :

Tabel 3.3
Pembobotan Option Pada Instrumen

No Alternatif Jawaban Butir-Butir Pertanyaan
Positif Negatif
1 Sangat Tidak setuju 1 4
2 Tidak setuju 2 3
3 Setuju 3 2
4 Sangat Setuju 4 1

Instrumen adalah alat untuk mendapatkan data atau ukur dalam pekerjaan teknik, maka diperlukan pengukuran (valid) dan terandalkan (realiabel). Uji validitas dilakukan untuk melihat sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Untuk menguji validitas digunakan rumus:
=IF(B35>=B34;”Valid”;Drop”)

1. Variabel Bebas (X) Katekisasi
a. Definisi Konseptual
Definisi Konsep diri positif yaitu ..................

b). Definisi Operasional
Definisi Model Pembelajaran Terpadu yaitu ....................

c). Kisi-Kisi
Instrumen Katekisasi dapat diukur melalui 4 Indikator yaitu (1) Metode Mengajar, (2) Efektifitas Kegiatan siswa, (3) Mengembangkan Kemampuan Berpikir, (4) Keragaman Pengalaman Belajar, (5) Menemukan Konsep Baru.

Tabel 3.4
Kisi-Kisi Model Pembelajaran Terpadu

Variabel Indikator Pertanyaan/ Pernyataan Jumlah
Positif Negatif
Konsep diri positif Metode Mengajkar berfariasi
Efektifitas Kegiatan siswa
Mengembangkan Kemampuan Berpikir
Keragaman Pengalaman Belajar
Menemukan Konsep Baru.
Jumlah


d). Kalibrasi Instrumen
Kalibrasi instrument ini dilakukan pada peserta didik kelas X da XI yang sedang mengikuti mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen di SMA PSKD Depok Jawa Barat. Data yang ada adalah sebanyak ……. orang/ responden. Dan dari data tersebut , penulis mengambil data untuk uji coba sebanyak …….. orang/ responden. Uji coba ini dilakukan untuk menguji keakuratan dan keterandalan butir instrument yang akan digunakan dalam penelitian yang direncanakan. Melalui uji coba ini, peneliti menemukan instrument yang valid dan reliable dari jumlah responden sebanyak 10 orang peserta didik. Maka didapatkan nilai r tabel sebesar 0.05, sebagai pedoman untuk menerima atau menolak butir. Jika r hitung > dari r tabel, maka dinyatakan valid, dan jika r hitung < dari hitung r tabel, maka dinyatakan drop. Tabel 3.5 Kalibrasi Instrumen Model Pembelajaran Terpadu Variabel Indikator Penghitungan Validitas Hitungan I Hitungan II Hitungan III Valid Drop Valid Drop Valid Drop Model Pembelajaran Terpadu Metode Efektifitas Kegiatan siswa Mengembangkan Kemampuan Berpikir Keragaman Pengalaman Belajar Menemukan Konsep Baru. Jumlah Dari tabel 3.5 tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa butir instrument yang direncanakan setelah dilakukan uji validitas dengan menggunakan SPSS 18.0 for windows. Maka, pada hitungan ke I didapatkan butir soal yang valid sebanyak ....butir dan drop sebanyak .... butir. Pada hitungan ke II didapatkan butir soal yang valid sebanyak ..... butir dan drop sebanyak .... butir, dan pada pengitungan terakhir setelah membuang beberapa butir soal yang drop, maka didapatkan butir soal yang valid sebanyak ...... butir dan tidak ada lagi butir yang drop (dapat dilihat pada lampiran). Masing-masing indicator mewakili instrument yang valid, maka dapat dikatakan bahwa instrument tersebut telah memenuhi kriteria untuk dapat digunakan sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian yang hendak dilakukan. e) Instrumen Akhir Setelah mengadakan uji validitas beberapa kali maka di dapat instrument akhir untuk penelitian yang hendak dilakukan .... butir yang semuanya valid. Tabel 3.6 Kisi-Kisi Instrumen Akhir Model Pembelajaran Terpadu Variabel Indikator Pertanyaan/ Pernyataan Jumlah Positif Negatif Model Pembelajaran Terpadu Metode Efektifitas Kegiatan siswa Mengembangkan Kemampuan Berpikir Keragaman Pengalaman Belajar Menemukan Konsep Baru. Jumlah f). Uji Reability Koefisien reabilitas instrument dianalisis dengan menggunakan bantuan koefisien Alpha Crobanch dengan bantuan SPSS 18.0 for windows. Setelah dianalisis didapatkan koefisien reabilitas instrument sebesar …… dengan jumlah butir yang valid 2. Variabel Bebas (Y) Peningkatan Minat Belajar Peserta didik a). Definisi Konseptual Definisi Peningkatan Minat Belajar Peserta didik yaitu ……………………… b). Definisi Operasional Definisi Peningkatan Minat Belajar peserta didik adalah ……………………. c). Kisi-Kisi Instrumen Peningkatan minat belajar Peserta didik dapat diukur melalui 5 Indikator yaitu (1) Perhatian, (2) Keaktifan di kelas , (3) Kehadiran (4) Respon (5) Nilai. Tabel 3.7 Kisi-Kisi Peningkatan Minat Belajar Peserta didik Variabel Indikator Pertanyaan/ Pernyataan Jumlah Positif Negatif Kesetiaan Pemuda dalam Beribadah Perhatian Keaktifan di kelas Kehadiran Respon Nilai. Jumlah d). Kalibrasi Instrumen Kalibrasi instrument ini dilakukan pada Peserta didik kelas X dan Kelas XI yang sedang mengikuti mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen dengan menerapkan model Pembelajaran Terpadu di SMA Kasih depok, Jawa Barat. Data yang ada adalah sebanyak ….. orang/ responden. Dan dari data tersebut , penulis mengambil data untuk uji coba sebanyak ….. orang/ responden. Uji coba ini dilakukan untuk menguji keakuratan dan keterandalan butir instrument yang akan digunakan dalam penelitian yang direncanakan. Melalui uji coba ini, peneliti menemukan instrument yang valid dan reliable dari jumlah responden sebanyak 10 orang peserta didik. Maka didapatkan nilai r tabel sebesar 0.05, sebagai pedoman untuk menerima atau menolak butir. Jika r hitung > dari r table, maka dinyatakan valid, dan jika r hitung < dari hitung r table, maka dinyatakan drop.

Tabel 3.8
Kalibrasi Instrumen Peningkatan Minat Belajar Peserta didik

Variabel Indikator Penghitungan Validitas
Hitungan I Hitungan II
Valid Drop Valid Drop
Peningkatan Minat Belajar Peserta didik Perhatian
Keaktifan di kelas
Kehadiran
Respon
Nilai.
Jumlah

Dari tabel tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa butir instrument yang direncanakan setelah dilakukan uji validitas dengan menggunakan SPSS 18.0 for windows. Maka, pada hitungan ke I didapatkan butir soal yang valid sebanyak ....butir dan drop sebanyak .... butir. Pada hitungan ke II didapatkan butir soal yang valid sebanyak .....butir dan tidak ada lagi butir soal yang drop. (dapat dilihat pada lampiran). Masing-masing indicator mewakili instrument yang valid, maka dapat dikatakan bahwa instrument tersebut telah memenuhi kriteria untuk dapat digunakan sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian yang hendak dilakukan.
e) Instrumen Akhir
Setelah mengadakan uji validitas beberapa kali maka di dapat instrument akhir untuk penelitian yang hendak dilakukan .... butir yang semuanya valid.

Tabel 3.9
Kisi-Kisi Instrumen Akhir
Peningkatan Minat Belajar Peserta didik

Variabel Indikator Pertanyaan/ Pernyataan Jumlah
Positif Negatif
Peningkatan Minat Belajar Peserta didik Perhatian
Keaktifan
Kehadiran
Respon
Nilai.
Jumlah

f). Uji Reability
Koefisien reabilitas instrument dianalisis dengan menggunakan bantuan koefisien Alpha Crobanch dengan bantuan SPSS 18.0 for windows. Setelah dianalisis didapatkan koefisien reabilitas instrument sebesar 0.946 dengan jumlah butir yang valid ……………

H. Teknik Analisa Data
Untuk mengidealkan Hipotesa Penelitian, perlu dilakukan analisis data, tahap-tahap analisis, data tersebut sebagai berikut: (1) mengidentifikasi data untuk setiap variable penelitian, (2) melakukan uji persyaratan analisis, dan (3) menguji Hipotesa
Deskripsi data setiap variable meliputi pembuatan distribusi frekuensi variable, histogram data kelompok, perhitungan mean, median, modus, standar deviasi, deskripsi setiap butir, dan kecenderungan setiap variable dengan melakukan analisis deskriptif.
Setelah analisis deskriptif maka dilanjutkan dengan analisis inferensial, digunakan untuk menguji hipotesa penelitian yang meliputi analisis korelasi sederhana dan analisis regresi sederhana. Sebelum melaksanakan analisis inferensial terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis yaitu uji normalitas.

I. Hipotesa Statistik
Hipotesa Penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : rxy = 0
Ha :rxy ╪ 0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar